Pengalengan didefinisikan sebagai
suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap
udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian
disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab
penyakit) dan pembusuk.
Meski banyak perusahaan pengalengan di negeri
ini, masih sedikit yang mengemas masakan tradisional di dalam kaleng.
Peluang inilah yang dilihat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat
mulai meneliti pengemasan kaleng untuk masakan tradisional.
Sejak era
1990-an, LIPI telah mulai memproduksi makanan tradisional yang dikemas di dalam
kaleng.“Waktu itu, kami tertarik mengemas makanan tradisional dalam kaleng karena
memiliki nilai tambah,” tutur Mukhamad Angwar, Koordinator Produksi UPT BPPTK
LIPI.
Awalnya,
LIPI memproduksi tempe kari dalam kaleng. Melihat respon yang baik, mereka
memproduksi makanan tradisional lain, seperti gudeg, sayur lombok ijo, mangut
lele, tahu kari, rendang, gulai, rawon, telur puyuh, hingga koktail.
Namun,
seiring berjalannya waktu, hanya beberapa produk saja yang memiliki nilai jual
yang baik. Kari tempe, gudeg, mangut lele, dan sayur lombok ijo merupakan
olahan makanan yang paling banyak dicari.
Dalam
sebulan, melalui Koperasi LIPI Gading (KOLIGA) LIPI mampu menjual 50 hingga 100
kaleng olahan makanan itu.Selain menjual langsung, Koliga juga memasarkan
masakan tradisional kalegan itu melalui website LIPI dan Koliga.Mereka
juga aktif mengikuti pameran dan melayani pemesanan untuk suvenir dan
oleh-oleh.Koliga juga mendistribusikan olahan tersebut ke dua supermarket besar
di Kota Yogyakarta.
Angwar
menilai, gudeg kaleng punya potensi bisnis yang besar.Pasalnya, penggemar
masakan ini cukup banyak, baik dari dalam maupun luar negeri.“Belanda bisa
menjadi pasar yang potensial untuk ekspor gudeg kaleng.Selain itu, pemasaran
juga bisa dilakukan bersama jemaah haji sehingga bisa dijadikan oleh-oleh,
“ujarnya.
Tak berhenti
dengan pengemasan kaleng, LIPI juga mengembangkan pengemasan makanan dengan
menggunakan aluminium foil atau plastik nilon berbentuk kantong (pouch).
Kedua jenis kemasan ini memiliki kualitas yang sama dengan kemasan kaleng,
namun harganya lebih murah. LIPI mengklaim, dengan dua kemasan tersebut,
pihaknya bisa berhemat ongkos produksi hingga 20 %.
Bahan Harus
Segar dan Tahan Suhu Tinggi
Sebagai pihak yang meneliti dan melakukan pengemasan dalam kaleng, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) menetapkan persyaratan khusus agar sebuah masakan
bisa dikemas ke dalam kaleng.Apalagi, proses pengalengan makanan tradisional
seperti gudeg tidak menggunakan bahan kimia sebagai pengawet.
Pertama, bahan baku masakan harus
benar-benar segar sesuai standar internasional dan prosedur pengalengan di UPT
BPPTK LIPI. “Untuk ikan dan daging, dari yang masih hidup, begitu dipotong
langsung diolah, begitu juga untuk sayur juga harus langsung diolah setelah
dipetik, “kata Mukhamad Angwar, Koordinator Produksi UPT BPPTK LIPI.
Kedua, bahan makanan itu harus bisa
bertahan dalam suhu tinggi hingga 121° Celcius (C).Artinya, masakan tak
berubah, baik warna maupun bentuknya, jika dipanaskan dalam suhu
tinggi.“Makanan itu tak berubah menjadi bubur, misalnya, “ujar Angwar.
LIPI
menggunakan langkah-langkah sesuai prinsip fisika dalam proses pengalengan ini.
Proses ini dimulai dengan menimbang dan memasukkan gudeg yang sudah masak
kedalam kaleng kosong yang terlebih dulu disterilkan. Selanjutnya, dilakukan
penghampaan udara di permukaan gudeg menggunakan uap panas pada suhu 90° C -
95° C. Gudeg itu kemudian ditutup dengan menggunakan mesin penutup kaleng dan
dilanjutkan dengan sterilisasi.
Gudeg yang
sudah dikemas dalam kaleng tertutup itu kemudian dimasukkan kedalam alat sterilisasi
dengan suhu 121° C selama 15 menit.Setelah itu, kaleng-kaleng berisi gudeg
dimasukkan kedalam air dingin yang sudah steril.“Tujuannya supaya mikroba jenis
spora yang tahan panas pecah, sehingga semua mikroba dalam gudeg itu mati,
“jelas Angwar.
Setelah
selesai, kaleng dikeringkan dan dikarantina 15 hari untuk memastikan apakah
masih ada mikroba yang tersisa. Sebab, bila masih ada mikroba, gudeg akan
mengalami proses fermentasi dan kaleng akan mengembung. Bila hal itu terjadi,
artinya pengalengan gudeg gagal.Namun, bila selama 15 hari kaleng tetap normal,
gudeg itu layak dikonsumsi setiap hari. Dalam tujuh jam, LIPI bisa mengemas
1.000 gudeg kaleng.
Sumber :UPT
BPPTK LIPI
Unit Pelaksana Teknis Balai
Pengembangan Proses Dan Teknologi Kimia – LIPI
resep minuman tradisional makassar dong kaka ?
BalasHapusHebat ini pengusaha sarabba,,, gmna sarabba dbulan puasa???
BalasHapusMw minum sarabba milkshake lgi, bleh delivery kah????